Bab 714
Bab 714
Harvey seketika membeku di tempat. Wajah Ellia memucat, bahkan Leo kesulitan mencerna jawaban itu.
“Omong kosong. Bukankah gadis ini sehat–sehat saja? Bagaimana dia bisa terkena kanker?”
Lewis melepaskan tangan Harvey. Lalu, dengan ekspresi sedih dan marah, dia melanjutkan penjelasannya, “Dua tahun yang lalu, saat kallan berceral, hasil pemeriksaan blopsi Selena menunjukkan stadium lanjut. Melihat kondisinya sekarang, mungkin sudah mencapai stadium akhir.”
Kata–kata “stadium akhir” berputar–putar di benak Harvey. Pikiran Harvey baru terbuka kembali.
Tanpa peduli begitu banyak lagi, Harvey langsung menggendong Selena yang sedari tadi muntah sampai kehabisan tenaga itu dan berlari keluar.
“Seli, nggak apa–apa. Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Kamu akan baik–baik saja.”
Entah sejak kapan turun hujan. Tetesan air hujan jatuh mengenai wajah Selena.
Dia mendongakkan kepalanya dengan lemah dan samar–samar melihat seberkas cahaya air yang jatuh mengenai wajahnya. Sebenarnya, itu air matanya sendiri atau air hujan?
Sepertinya semuanya tidak penting lagi. © NôvelDrama.Org - All rights reserved.
Dia merasa hidupnya perlahan–lahan terkikis oleh waktu. Ribuan kata tercekat di tenggorokannya dan membuat dadanya terasa sesak.
Langkah Harvey yang menggendong Selena tampak berantakan. Pria itu bahkan tersandung dan hampir terjatuh. Bisa dibayangkan, betapa kacau hatinya saat ini.
Benak Harvey kini dipenuhi dengan kata–kata Hansen sebelumnya. “Tuan Harvey, efek M.1 pada orang biasa nggak terlalu jelas, kecuali untuk orang lanjut usia, anak–anak dan wanita hamil serta pasien
kanker nggak boleh disuntik.”
“Apa konsekuensi dari suntikan ini?”
“M.1 bisa menyebabkan orang kehilangan ingatan dan secara otomatis menonaktifkan sistem kekebalan tubuh. Artinya, jika pasien adalah penderita kanker dan nggak memiliki sistem kekebalan tubuh untuk menjaga pemberantasan sel kanker, maka sel kanker akan berkembang dengan cepat dan
bahkan dalam waktu singkat bisa menyebar ke seluruh tubuh hingga menyebabkan bencana yang luar
biasa bagi pasien.”
Harvey tidak menyangka Selena akan menderita penyakit seperti ini. Pantas saja, setelah Selena
bangun, dia tidak mengalarhi efek samping apa pun dan hanya kadang–kadang merasa sakit perut.
Dialah yang mencelakai wanita itu dengan tangannya sendiri.
Harvey sangat menyesal. Dia tampak panik seperti anak kecil dan bahkan berulang kali meminta maaf kepada Selena.
“Seli, maaf, aku nggak bermaksud begitu, aku nggak tahu.”
Air mata hangat jatuh membasahi wajah Selena. Sebenarnya, Selena memiliki banyak pertanyaan di dalam hatinya, tetapi ketika dia benar–benar mencapai akhir hidupnya, dia menyadari dirinya tampak
lebih tenang.
Melihat hujan lebat bak air terjun dari langit, dia berkata dengan lembut, “Harvey, aku lelah sekali
Entah itu cinta atau benci, kenangan atau apa pun itu, dia tidak ingin mengetahuinya lagi.
Dia merasa tenaganya telah terkuras habis, seakan–akan jiwanya terlucuti sedikit demi sedikit.
“Seli, aku nggak akan membiarkanmu pergi.”
—
Harvey membaringkan wanita berlumuran darah itu di kursi depan, “Aku akan membawamu ke rumah
sakit sekarang.”
Selena terlihat lemah. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah Harvey sambil berkata pelan,” Kalau aku nggak bisa hidup lama, biarkan aku pergi.”
“Jangan bilang kata–kata seperti itu. Kamu akan baik–baik saja.”
Jemari Selena perlahan–lahan meluncur turun dari pipinya, meninggalkan bekas lima jari.
Perlahan–lahan matanya tertutup.
Lelah sekali. Dia ingin beristirahat sebentar.
Sebelum kehilangan kesadaran, sepertinya dia mendengar teriakan Harvey yang memilukan, tetapi itu.
semua tidak ada hubungannya dengannya lagi.
Awalnya, dia juga tidak memiliki tujuan untuk bertahan hidup. Satu–satunya hal yang membuatnya
bahagia adalah dia memiliki keluarga yang bahagia dan suami yang mencintainya.
Pada akhirnya, semua itu hanya bohong belaka dan mimpi indahnya hancur. Alasan apa yang harus dia
gunakan untuk terus hidup seperti mayat hidup?